Minggu, 11 Maret 2018

Dalam Diam Aku Mencintainya

Dalam diam, aku mencintainya

Ini tentang waktu yang mempertemukan kita, aku rasa pertemuan ini tanpa disengaja, entah untuk apa Tuhan mempertemukan kita, tapi pasti selalu ada cerita dibalik sebuah pertemuan, dari sebuah pertemuan ini aku tidak menyesalinya, justru aku sangat menikmati sebuah pertemuan ini, aku menyukainya, walau rasa suka ini hanya bisa ku nikmati sendiri. Ini mengenai cerita cinta dalam diamku, pada mulanya aku tidak mengerti akan perasaan ini, kadang ada rindu, senang apabila bertemu, dan saat malam telah tiba aku suka mengingatnya, mengingat kejadian-kejadian saat aku berpapasan dengannya, aku terkesipu malu dan selalu tersenyum-senyum sendiri jika aku mengingat kembali tentangnya.

Pertemuan ini bermula saat ospek, dari jauh sini aku selalu memperhatikan ikhwan itu, kadang aku ingin sekali mengetahui siapa namanya, namun aku hanya gadis sederhana dan juga pemalu, dia…wajahnya begitu enak dilihat, matanya yang teduh seakan selalu menawarkan rasa nyaman, hidungnya mancung, apabila dia tersenyum lesung pipinya begitu manis. “Akhhh masyaallah, perasaan apa ini, aku tidak boleh seperti ini, please Anin jangan berpikiran yang aneh-aneh”. Lirihku dalam hati.

Setiap orang pasti pernah merasakan jatuh cinta, mereka mempunyai caranya sendiri untuk jatuh cinta, begitupula dengan aku, hmm aku lebih memilih menyimpannya rapih-rapih dalam hatiku, aku lebih memilih untuk menikmati sendiri dalam hatiku, aku juga tidak berani bercengkrama dengan siapapun mengenai isi hatiku, tidak terkecuali pada sang maha pencipta.

Namaku Aninda Maharani, panggil aku Anin, terimakasih. Demikian aku memperkenalan diri didepan teman-teman yang lain, begitupula dengan yang lainnya, kami saling bergiliran untuk memperkenalkan diri. Setelah bel istirahat berbunyi, aku segera melangkahkan kaki untuk menunggu adzan zuhur, entah untuk keberapa kalinya aku selalu berpapasan dengan ikhwan tersebut, jantungku terasa berdebar lebih kencang dari biasanya, aku segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat.

“Anin tugas praktikumnya uda selesai belum, jam 13.00 mau dikumpulin belum lagi kita harus ngerjain paper kelompok, kita juga belum makan siang, ayok..!!” Ujar Nadia mengingatkanku.
“Iya sebentar ini lagi pake sepatu”. Kataku seraya tergesa-gesa.

Disela-sela kesibukanku yang juga bekerja, rasanya ingin segera berakhir dari ospek ini, dengan tugas-tugas yang diberikan oleh senior yang nggak hanya banyak, tetapi juga aneh-aneh, belum lagi mengerjakan tugas-tugas yang lainnya, dengan deadline yang super mepet, semuanya itu membuat aku kewalahan, dan bahkan aku seringkali membawa tugas yang belum selesai ke kampus dan mengerjakannya dikampus. Meski demikian aku bersyukur, untung saja aku memiliki teman-teman kelompok yang begitu baik-baik dan pengertian.

“Jadi kita mau ngerjain dimana?” Kataku seraya memegang lutut.
“Lu kenapa nin?” Ujar Bagas.
“Tadi Nadia minta buru-buru, jadi aku lari, jadi terasa cape”.
“Dikantin aja nanti kita ngerjain sambil makan”. Ujar Bima ketua kelompok.

Kelompok kita diketuai oleh Bima yang terdiri dari 12 anggota, kelompok kita dari berbagai macam jurusan, aku senang bisa mengenal mereka, aku yang tidak mengenal siapapun disini  jadi bisa berkenalan dengan mereka hingga memiliki teman, dan aku senang bisa kenal dengan Nadia yang satu jurusan sama aku, kita sama-sama mengambil jurusan sastra.

“Handsock kamu kemana Nin?” Ujar Nadia mengingatkan.
“Ya ampun Nad, ketinggalan dimesjid pas lagi pake sepatu deh kayanya, gimana dong?” Kataku seraya panik.
“Ya uda ikhlasin aja, lagian jauh mau balik ke mesjid juga, mau lari-lari lagi?” Ujar Nadia.
“Ga bisa Nad, itu hadiah dari sahabat aku, soalnya pakai handsock samaan, aku sebentar deh balik ke mesjid dulu yah, teman-teman aku ke mesjid dulu sebentar yah, ada yang ketinggalan”. Ujarku pada teman-teman.

Aku berlari melewati lorong kelas, langkahku berhenti, tali sepatuku lepas, akupun harus mengikatnya terlebih dahulu.

“Punyamu?” Ujar suara laki-laki seraya membawa handsockku.
“Ya ampun kak iya ini punyaku, terimakasih”. Kataku.
“Sama-sama”. Ujar laki-laki tersebut.

Selesai  mengikat tali sepatu, langsung kubalikan badanku dan menemui laki-laki yang mengembalikan handsockku, tapi dia sudah membalikan badan dan berjalan meninggalkanku, meski aku berteriak “Hey….” Dia hanya melambaikan tangan lalu tersenyum. “Ya Allah, dia ikhwan yang selalu aku perhatikan itu”. Dan aku pun membalas senyumannya.

Sesampainya dikantin, aku terasa ingin senyum-senyum sendiri terus, aku tidak bisa menahan rasa senang ini, padahal hanya kejadian singkat dan sederhana.

“Ada handsocknya? Bentar juga ya ngambil?” Ujar Nadia.
“Oh ada Nad, ayok kita lanjutkan dan bereskan semuanya”. Kataku.

Semua terjadi begitu saja, seperti waktu yang lagi dan lagi mempertemukan kita, dibawah langit yang dihiasi awan yang indah nan bersahaja, aku duduk dibangku halaman kampus, angin bersemilir lembut menyapa hari ini, hingga membuat jilbabku terkibas angin, akupun membenarkan letak jilbabku. Seseorang duduk disampingku, perlahan aku menongok ke arahnya, laki-laki itu menunduk seraya membaca buku, ia mengenakan switter warna merah dan topi yang menutupi wajahnya, aku nampak kurang senang karena duduk berdua, ditambah lagi dengan laki-laki yang tak ku kenali, aku bergegas dan mengambil tas gendongku berwarna biru muda.

“Aninda Maharani” Kata laki-laki itu, dia menyapaku.

Aku menghentikan langkah kakiku, seperti biasa jantung ini seakan berdetak lebih kencang dari biasanya, aku berusaha agar suasana hatipun menjadi biasa saja, namun aku tak bisa, aku hanya tersenyum lalu meninggalkannya. Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku terus memikirkannya, kenapa dia begitu manis dan menawan, akhh aku tersenyum-senyum sendiri. Namun lamunanku terhenti memikirkan betapa manisnya dia, tiba-tiba saja aku lambat berfikir “Ikhwan itu tahu namaku, dia menyapa aku Aninda, dia tahu namaku, tapi ko dia bisa tahu namaku, aku saja tidak tahu nama dia, ya Allah apa dia juga memperhatikanku, lebih dari aku yang memperhatikannya?” Aku terus bergumam dalam hati dan tersenyum-senyum sendiri. Betapa senangnya aku saat itu, hari dimana pertama kali dia menyapaku.

Ospek telah berakhir, kita memasuki kelas masing-masing, rasanya aku senang karena akan memiliki teman-teman baru, sejak SMA aku selalu berfikir dan mengkhayalkan tentang dunia perkuliahan itu seperti apa, aku yang hanya dari orang biasa saja selalu berdoa agar aku bisa melanjutkan pendidikan, dan aku bersyukur Allah mengabulkan doaku, entah bagaimana caranya ternyata dengan keyakinan dan usaha aku bisa melanjutkan pendidikan.

Waktu terus berputar begitu saja, hari-hariku sudah mulai disibukan dengan tugas-tugas kuliah dan pekerjaan, sudah berjalan 2 minggu aku memulai aktif belajar, seakan aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang datang ini. Aku bersyukur ada teman dekat yang kemanapun kita selalu bersama, yaahh sejak pertama kali masuk Nadia dan aku kita selalu bersama, kemanapun.

“Nin kamu tahu nggak seh, dikelas kita ada cowok yang cute banget, dia imut dan manis banget, dan aku suka deh kayanya sama dia, sejak pertama aku tahu kalo dikelas ternyata ada yang keren, uda gitu dia baik dan ramah”. Ujar Nadia membuka percakapan disela-sela jam istirahat.
“Oh ya….sekeren, semanis, seimut apa?”
“Nanti aku kasih tahu deh kalau dia lewat, yang jelas dia duduk dibarisan belakang”.

Namanya Nadia, dia sosok wanita yang ceria si penggemar sepatu nike, film-film drama Korea dan aktor-aktor Korea. Kita duduk dibarisan paling depan, seperti biasa selalu berdekatan, ada aku ya harus ada Nadia.

Saat itu Nadia mencoba memberitahu kepadaku laki-laki yang ia sukainya itu, namun aku tidak jelas memperhatikannya, aku juga malas jika aku harus menengok-nengok ke belakang, mencari-cari yang mana laki-laki yang Nadia sukainya itu. Karna aku duduk dibarisan paling depan aku selalu fokus menghadap ke depan, sesekalinya menengok jika ada barang yang ingin aku pinjam kepada teman sekelasku.

Sepulang dari kampus aku dan Nadia pergi ke kedai yang letaknya tidak jauh dari kampus, kedai dekat kampus ini selalu menjadi tempat tongkrongan favorit para mahasiswa, karena hidangannya yang lejat, tempat yang nyaman dan terjangkau dikantong. Ini memang sedikit mengantri jika kita ingin memesan makanan atau minuman, aku dan Nadia mengantri dibelakang laki-laki yang memakai switter berwarna putih, seperti biasa aku selalu fokus dengan game pou ku.

“Anin ikh…”. Nadia menghentikanku yang sedang asik bermain game.
“Berhenti dulu main gamesnya, ada cowok yang aku sukai itu loh, namanya Esa”. Kata Nadia seraya bersandar dibahuku.
“Mana Nad dimana?” Aku mencari para laki-laki yang sedang duduk dikursi.
“Bukan dibelakang, tapi didepan kamu”. Kata Nadia seraya tersenyum malu.

Aku mencoba memperhatikan laki-laki itu, seakan aku mengenalinya.

“Diem ya aku mau nyapa dia”. Ujar Nadia yang masih bersandar dibahuku.
“Esa..”. Kata Nadia seraya menepuk bahu laki-laki tersebut.

Laki-laki itu menengok ke arahku, dia menatap mataku, aku benar-benar merasa terkejut, aku menundukan pandanganku, hatiku terus bergumam “Bagaimana mungkin aku dan Nadia menyukai laki-laki yang sama, dan aku tidak menyadarinya bahwa ternyata aku dan ikhwan itu satu kelas, Nadia lebih mengetahui namanya terlebih dahulu”.

“Eh Nadia makan Nad?” Kata ikhwan tersebut.
“Mampir beli minum aja sih kita, tapi mau istirahat dulu disini”.

Aku hanya diam tak bisa berkata apapun, aku hanya memikirkan bagaimana ini bisa terjadi, kenapa harus dengan orang yang sama, kenapa harus dia, dan kenapa kita harus satu kelas.

Hari demi hari terlewati, seiring berjalannya waktu hubungan kita semakin dekat, aku, Nadia, Esa dan yang lainnya, kita selalu bersama, bahkan setiap ada tugas kelompokpun kita selalu bersama, namun sepanjang ini aku hanya terus memikirkan, bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya bahwa ikhwan yang aku sukai itu ternyata sekelas denganku dan sekarang kita menjadi teman, aku benar-benar tidak bisa melihat senyumnya, ada rasa senang dan juga bahagia menyapa hati. Entah untuk keberapa kalinya Nadia selalu menceritakan sosok Esa, dan aku selalu menyembunyikan perasaan ini, aku berusaha untuk selalu mendukung, dan aku berusaha untuk melupakannya, melupakan semua perasaan ini yang pernah terjadi. Aku akui cara Nadia menyukainya benar-benar berani, tidak seperti aku yang lebih memilih memendamnya dalam diam dan kesendirian.

Dear Diary,
Namanya Esa, aku tidak pernah tahu bahwa ternyata dia sekelas denganku, dan kenapa aku dan sahabat dekatku harus menyukai laki-laki yang sama, ini terlalu menyakitkan jika aku terus mendengar cerita-ceritanya, aku takut aku tidak tahan menyembunyikan perasaan ini, aku tahut ada seseorang yang mengetahui bahwa aku menyukainya. Seperti moment yang telah berlalu, aku telah menghabiskan waktu bersama, menikmati senyumnya dari dekat, kadang aku butuh teman juga untuk mendengarkan cinta dalam diamku ini, namun entah harus kepada siapa aku menceritakan betapa terus menggebu-gebunya perasaan ini, andai saja jatuh cinta bisa ku atur maka aku ingin mengaturnya dengan baik, tidak dengan dia yang memang ikhwan itu hanyalah temanku, dan mungkin dia juga tak memiliki perasaan apapun kepadaku, aku ingin berhenti menikmati rasa cinta diam-diam ini, namun aku belum mampu menghapusnya.
Tentang rasa yang tidak pernah bisa aku ceritakan kepada siapapun, sudah terlalu lama aku memendamnya, dan mungkin aku pandai menyimpannya benar-benar tidak ada orang yang mengetahui perasaa ini,  sekarang, detik ini sudah 3 tahun perasaan ini masih bersemayam dalam hatiku, aku tidak bisa mengusirnya, meski untuk sebentar saja, karna aku lelah, namun meskipun dekat hati ini terasa jauh, karna hatinya tidak tertuju untukku.

Aku berjalan melewati lorong kelas seraya menggendong tas warna silverku, sesekali aku melihat jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku, lebih tepatnya aku ingin bertemu dengan seorang laki-laki yang katanya mengagumi setiap cerpen-cerpen atau puisi yang secara iseng aku tempel dimading kampus, menurutku ada yang jauh lebih banyak tulisan-tulisan yang lebih menarik dari pada tulisan aku, entah ada apa dengan laki-laki ini yang selalu memuji tulisanku, hingga terkadang membuat percaya diriku semakin bertambah untuk terus menulis lagi dan lagi. Kita akan bertemu dikedai yang biasa aku singgahi, aku memesan minuman terlebih dahulu, ada banyak laki-laki dikedai itu, kadang aku bertanya-tanya dalam hati apa dia ada disini atau belum tiba.

“Astagfiruallah…” Langkahku terhenti, seperti biasa Esa selalu iseng dan mengerjaiku, dia memang selalu menyebalkan, tapi jujur aku memang selalu dibuatnya rindu, terkesipu malu, dan pipi memerah.
“Ini bahaya Esa, bisa enggak sih kakinya jangan ngalangin orang yang lagi jalan”. Kataku seraya bernada tinggi.

Dia berdiri didepanku, menatapku tanpa senyuman, jari jemarinya ia masukan kedalam saku celana, ia nampak terlihat keren dan gagah, oh Tuhan kadang aku takut tidak bisa menahan rasa ini, aku benci disaat seperti ini. Aku tidak memperdulikannya, aku coba melangkahkan kakiku tanpa senyum kepadanya, aku mengeluarkan handphone dari saku bajuku, aku mencoba chatt dengan laki-laki yang akan menemuiku. Aku bergegas mencari tempat duduk dan menunggu laki-laki tersebut, aku mencoba chatt laki-laki itu bahwa aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu, lagi dan lagi aku bertanya "kamu dimana?" , namun tidak ada jawaban, aku menelvon laki-laki tersebut, dia mengangkatnya, suara laki-laki itu tepat ada dibelakangku yang katanya penggemar rahasiaku, aku menoleh ke arah belakang, dan dia Esa.

Pipiku memerah, mendadak aku salang tingkah dibuatnya, ada apa dengan ini batinku terus bertanya-tanya, Esa mendekat ke arahku, dia mengatakan “Aku si penggemar rahasiamu” aku hanya tertawa dan terus berusaha menutupi perasaan ini mesti aku senang.

“Ya elaah kalau tau itu kamu kita ga mesti kaya gini kan Sa, kamu bisa ngomong langsung aja kali kalo kamu diem-diem penggemar rahasiaku”. Ujar aku seraya menepuk bahunya dan tertawa.

Esa hanya memperhatikanku tanpa bicara dan senyuman, aku tidak bisa seperti ini.

“Selesaikan, kalau gitu aku pulang dulu ya”. Ujarku seraya mengambil tas.

Namun Esa menahannya, dan meminta aku untuk tetap duduk.

“Aku menyukaimu dari pertama bertemu hingga saat ini”. Ujar Esa.

Aku hanya terdiam, ada rasa senang namun sedikit aneh, aku kehabisan kata untuk berbicara, seketika suasana hening dan kita saling menundukan pandangan satu sama lain.

“Apa ini? Ceritanya nembak?” Kataku seraya tertawa.
“Aku serius Nin, handsock kamu ingat, itu aku yang mengembalikan handsockmu yang tertinggal dimesjid, dan sebelum itu pun aku sudah menyukaimu, namun aku hanya menahannya mencari benar atau tidak aku menyukaimu, namun seiring berjalannya waktu aku rasa ini emang benar-benar cinta, kita uda semester 7 sekarang, sampai hari ini pun aku masih menyukaimu, segala macam tentangmu aku menyukaimu, aku sudah terlalu lama mengenalmu, semua tentangmu dan aku tetap menyukaimu baik buruknya kamu”. Katanya.

Seketika aku terdiam ada rasa senang karna laki-laki yang aku kira tidak akan menyukaiku, ternyata dia menyukaiku, sama seperti aku yang sejak lama menyukainya. Ya.. saat dia mengumandangkan adzan dimesjid dan menjadi imam, aku jatuh cinta terhadap suaranya yang merdu, namun setelah ku lihat siapa dibalik ikhwan itu, ternyata aku jauh lebih dibuatnya jatuh hati.

“Jadi ceritanya temen jadi demen nih?” Kataku yang terus meledeknya dan tertawa.
“Aninda..” Ujarnya menyapaku.
“Katakan ini setelah lulus, setelah kita wisuda, atau setelah kamu merasa siap dalam segala hal, aku mau tahu seberapa lama lagi perasaan kamu tumbuh untukku, dan coba lihat Nadia walau untuk sebentar saja, kamu tahu dia begitu menyukaimu sejak lama kan?” Kataku seraya tersenyum.
“Aninda…”
“Aku pulang duluan yah, maaf, aku harus kerja, Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam” Katanya seraya menunduk.

Ada rasa senang, takut dan juga sedih, senang karena ikhwan yang selama ini aku sukai juga menyukaiku, takut karena untuk kedepan apa perasaan itu masih ada dan akan bertemu pada hubungan yang telah halal, sedih karena sampai detik ini pun Nadia juga masih menyukai Esa dan bahkan menunggu, dia sahabatku. Entah bagaimana mengenai perasaan ini untuk kedepannya, kadang aku bingung harus kepada siapa aku bercerita, hanya menulis dan menulis yang bisa aku lakukan, dan terkadang aku juga takut bagaimana jika Nadia membaca tulisanku, entahlah biar Allah saja yang mengatur segala rupanya, aku hanya berusaha mengikuti perintahnya, biarkan dia tidak mengetahui perasaanku, meski dalam diam aku mencintainya.