Sabtu, 25 Februari 2017

Gadis Cupu Yang Selalu dibully


Saat bel istirahat tiba ia paling suka menyendiri, membaca buku adalah kesukaannya, perpustakaan bagi dia adalah teman setianya, tiada hari tanpa berkunjung keperpustakaan, hampir sebagian buku diperpus  sudah pernah ia baca, namun tak pernah bosan ia melewati jam istirahatnya untuk membaca buku diperpus sekolah.

Frida Milly, begituhlah nama lengkap gadis berkacamata tebal yang duduk disudut ruangan perpustakaan, dia memang dikenal gadis cupu, jelek, culun oleh para teman-temannya. Tak sedikitpun perkataannya ia dengarkan, bagi Frida perkataan demikian sudah tidak asing didengar dari telinganya, sejak ia SD hingga sekarang, ejekan itu memang selalu ia dengar dari teman-temannya, namun ia hanya mengabaikan dan menganggapnya seperti angin yang berlalu.
“ Eh ada si cupu tuh, males banget gue
   kalo deket-deket dia, badannya bau”.  Ujar Elisa teman sekelasnya.
Elisa dan dua temannya memang termasuk orang yang sering membully Frida, bagi mereka Frida adalah gadis yang berbeda, Frida jelek, cupu, rambut ikal dan sebagainya. Berbeda dengan Elisa yang terkenal dengan kecantikannya, dia cewek modis, kaya, berkulit putih, bertubuh tinggi, berhidung mancung, dari fisik dia memang terlihat sempurna.
Semua yang dia inginkan bisa ia dapatkan. Uang, karna uang banyak yang dia miliki.
Bagi dia semua bisa didapatkan dengan uang.

Hobby mereka memang membully orang-orang seperti Frida, namun kelebihan Frida ia adalah gadis yang sabar. Kesabaran yang Frida miliki membuat sosok laki-laki tampan mengagumi segala kesabarannya Frida.
Frida memang orang yang sabar, tetap tersenyum walau hatinya terluka, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan pula, ini yang membuat Bara jatuh hati padanya, tidak melihat kecantikan fisiknya, melainkan kecantikan yang melekat pada hatinya.

“Nama aku Bara, aku anak IPS 2” Bara memperkenalkan dirinya.
“Frida” Ia tersenyum malu.
“Aku tau kamu anak baru disini,
  kamu jangan kaget Elisa sikafnya memang seperti itu,
  aku minta jangan diambil hati” Ujar Bara.
“Iya aku mengerti”.

Frida meninggalkan percakapan tersebut, Bara memperhatikannya dari jauh, Frida benar-benar telah menarik hati Bara.
Hari-hari terlewati, ejekan, hinaan, perlakuan kasar pernah Frida dapatkan dari Elisa dan teman-temannya, setiap kali pulang sekolah Frida selalu dalam keadaan menangis dan bertubuh kotor.
Dari mulai dilempar telor, tomat busuk, disiram air, baju dicoret-coret dengan sepidol, perlakuan itu semuanya pernah ia dapatkan dari Elisa dan teman-temannya, Frida sudah seperti bahan ejekan dan leluconnya Elisa, mereka seperti bahagia jika telah membully Frida, apalagi ketika Elisa tau bahwa Bara laki-laki yang ia sukai dari dulu selalu mendekati keberadaan Frida.

Frida pulang selalu dalam keadaan menangis, ia melihat kearah cermin yang berada dikamarnya, hatinya berkata “Sejelek itukah aku?” ia meneteskan air mata.
Kali ini Frida mendapatkan kekerasan fisik dari Elisa dan teman-temannya, ingin sesekali ia melaporkan kejadian ini pada kepala sekolah, tapi apa yang bisa ia lakukan, Frida hanya terlahir dari seorang anak petani yang sederhana, Frida bisa sekolah disituhpun karna ia mendapatkan beasiswa karna prestasinya, sedangkan Elisa ia gadis yang berkuasa disekolah, karna orang tuanyalah yang memiliki sekolah tersebut, dia memang kaya raya, tak ada seorangpun yang brani melawannya. Sering kali Frida ingin berontak, tapi tiga lawan satu bagi Frida itu tak mungkin, apalagi Frida tak memiliki kekuatan untuk melawannya, Frida sangat pendiam.

Frida mulai tak tenang dan tak betah melanjutkan sekolah disini, terkadang saat makan siang tiba, tempat duduknya sengaja dibuat penuh oleh Elisa sang penguasa si ratu sombong, seakan-akan tak ada tempat untuk Elisa duduk dan makan siang dikantin, dan dari situh kini Frida selalu membawa bekal dari rumah dan lebih memilihnya makan sendirian dikelas. Tak ada satupun kawan yang berteman dengan Frida, semua itu adalah akal-akalan Elisa agar Frida tak betah melanjutkan sekolah disini.

Elisa memang orang yang tidak pernah mau tersaingi, apalagi ketika ia tau bahwa Frida lebih pintar darinya, dan Bara lebih memilih dia dari pada Elisa.
Frida yang selalu dipuji oleh guru membuatnya menjadi semakin geram, dan sekuat mungkin ia mencari banyak berbagai cara untuk membuat Frida pergi dari sekolah ini, namun kesabaran Frida membuat tingkah mereka semakin menjadi-jadi.
Terkadang teman-teman sekelasnya merasa Iba terhadap perlakuan Elisa kepada Frida, termasuk Bara, Bara selama ini memang yang selalu ada untuk mendengar keluh kesah dan sekedar memberi semangat pada Frida sigadis cupu ini, namun pertemuannya hanya sebatas diluar sekolah, saat berada dilingkungan sekolah Bara sengaja menjauhi Frida karna ia takut Elisa semakin menjadi-jadi.
Plaaaakkkk....
Dilemparnya penghapus papan tulis pada muka Frida, Elisa dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak melihat wajah Frida kotor dengan bekas kapur. Lalu Frida membereskan buku-bukunya dan memasukannya kedalam tas warna biru mudanya, ia berlari membawa tasnya, ia keluar dari kelasnya, sebelum keluar Frida tersenyum manis pada Elisa dan berkata “Terimakasih atas segala perlakuanmu terhadapku selama ini, semoga kamu bahagia, apalagi setelah apa yang kamu inginkan bisa terwujud, kamu ingin aku keluar dari sekolah ini bukan? Tapi caramu salah, tanpa kamu sadari kamu telah menyakiti hati seseorang, kamu tidak pernah membayangkan kalau posisi kamu berada di aku yang selalu di-bully oleh orang-orang jahat sepertimu, selamat tinggal”. Elisa berhenti dari tawanya, Frida berlari melewati lorong kelas, ia menangis tersedu-sedu.

Brrraaakkkkk.....
Tanpa sengaja Frida menabrak Bara.
“Frida kamu kenapa?” Bara bertanya.
Frida menutup mukanya, ia berlari meninggalkan Bara, Bara mengejarnya.
“Frida tunggu....!!!”
Frida berhenti disebuah jembatan, Frida menjatuhkan tasnya. Bara mendekat.
“Frida aku minta maaf aku nggak bisa menjaga kamu disini”
Frida terdiam.

Bara mendekat, Frida menghela nafas dalam-dalam, ia mengusap air matanya. Ia menoleh kearah Bara, Frida tersenyum seraya berkata “Nggak apa-apa, terimakasih selama ini kamu telah menjadi teman baikku, mungkin aku tidak pantas berada disini, berada dilingkungan orang-orang yang kaya, aku sadar aku berbeda dari mereka”
Bara mendekat.
“Dengan kamu berbicara seperti ini
  bukan berarti kamu ingin pergi dari sekolah ini kan?”
Bara Bertanya.
Frida menundukan kepala.
“Hari ini adalah hari terakhir pertemuan kita
  Besok biar orang tuaku yang kemari, aku ingin keluar”.
“Kamu menyerah?” Gumam Bara.

Frida tersenyum.
“Aku ingin seperti yang lainnya, yang punya banyak teman disekolah, ikut bercanda dan tertawa bareng teman, aku tidak ingin aku terus-terusan dibully seperti ini oleh mereka, aku ingin benar-benar nyaman tanpa tekanan ketika aku berada disekolah, kamu tau Bara setiap malam aku selalu takut ketemu hari esok, aku takut berangkat sekolah, aku memikirkan hal apalagi yang terjadi ketika aku berada disekolah, semua sudah aku dapatkan disini, apa aku akan terus begituh? Aku lelah jika pulang sekolah aku harus selalu menangis karna perilaku Elisa dan teman-temannya, aku rasa ini memang saatnya aku pergi dari sini”.
Bara mendekat dan merasa menyesal karna tidak selalu ada saat ia sedang membutuhkannya. Bara membuka kacamata Frida, Bara mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan wajah Frida dari kapur, Frida menangis, dalam hening Bara menghapus air mata Frida.
“Aku mohon berhentilah menangis, dadaku sesak melihatmu menangis”.
Frida mencoba tegar dan tersenyum, dia sangat terlihat cantik dan manis tanpa kacamata yang ia kenakan tersebut.
“Sebentar lagi jam istirahat akan habis,
 cepat kamu masuk kelas, aku pamit” Ujar Frida.
Tenggorokan Bara terasa mencengkam, hatinya pilu, seakan tak rela gadis yang ia cintai pergi.
“Tapi kamu masih tetap dikota ini kan?” Ujar Bara.
“Tidak, aku akan kembali ke kampung,
  Tempat lahirku, sudah bosan aku disini,
  Dari SD sampai sekarang aku disini,
  Aku ingin disana saja menjadi gadis desa, bukan gadis kota,
  Aku sadar aku nggak pantas dikota”. Ujar Frida.
Bara manahan air matanya, rasanya ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, adalah kata cinta, tapi tak berani ia ungkapkan, Bara berharap agar kelak nanti Tuhan akan mempertemukannya kembali.
“Aku pamit”.
Frida meninggalkannya.
“Kamu baik-baik disana”. Teriak Bara.
Kini bagi Bara hanya tersisa senyumannya, senyuman Frida.

2 komentar: