Saat bel istirahat tiba ia paling suka
menyendiri, membaca buku adalah kesukaannya, perpustakaan bagi dia adalah teman
setianya, tiada hari tanpa berkunjung keperpustakaan, hampir sebagian buku
diperpus sudah pernah ia baca, namun tak pernah bosan ia melewati jam
istirahatnya untuk membaca buku diperpus sekolah.
Frida Milly, begituhlah nama lengkap
gadis berkacamata tebal yang duduk disudut ruangan perpustakaan, dia memang
dikenal gadis cupu, jelek, culun oleh para teman-temannya. Tak sedikitpun
perkataannya ia dengarkan, bagi Frida perkataan demikian sudah tidak asing
didengar dari telinganya, sejak ia SD hingga sekarang, ejekan itu memang selalu
ia dengar dari teman-temannya, namun ia hanya mengabaikan dan menganggapnya
seperti angin yang berlalu.
“ Eh ada si cupu tuh,
males banget gue
kalo deket-deket dia, badannya bau”.
Ujar Elisa teman sekelasnya.
Elisa dan dua temannya
memang termasuk orang yang sering membully Frida, bagi mereka Frida adalah
gadis yang berbeda, Frida jelek, cupu, rambut ikal dan sebagainya. Berbeda
dengan Elisa yang terkenal dengan kecantikannya, dia cewek modis, kaya,
berkulit putih, bertubuh tinggi, berhidung mancung, dari fisik dia memang
terlihat sempurna.
Semua yang dia inginkan
bisa ia dapatkan. Uang, karna uang banyak yang dia miliki.
Bagi dia semua bisa didapatkan dengan
uang.
Hobby mereka memang
membully orang-orang seperti Frida, namun kelebihan Frida ia adalah gadis yang
sabar. Kesabaran yang Frida miliki membuat sosok laki-laki tampan mengagumi
segala kesabarannya Frida.
Frida memang orang yang sabar, tetap
tersenyum walau hatinya terluka, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan
pula, ini yang membuat Bara jatuh hati padanya, tidak melihat kecantikan
fisiknya, melainkan kecantikan yang melekat pada hatinya.
“Nama aku Bara, aku
anak IPS 2” Bara memperkenalkan dirinya.
“Frida” Ia tersenyum
malu.
“Aku tau kamu anak baru
disini,
kamu jangan kaget Elisa sikafnya memang
seperti itu,
aku minta jangan diambil hati” Ujar Bara.
“Iya aku mengerti”.
Frida meninggalkan percakapan tersebut,
Bara memperhatikannya dari jauh, Frida benar-benar telah menarik hati Bara.
Hari-hari terlewati,
ejekan, hinaan, perlakuan kasar pernah Frida dapatkan dari Elisa dan
teman-temannya, setiap kali pulang sekolah Frida selalu dalam keadaan menangis
dan bertubuh kotor.
Dari mulai dilempar
telor, tomat busuk, disiram air, baju dicoret-coret dengan sepidol, perlakuan
itu semuanya pernah ia dapatkan dari Elisa dan teman-temannya, Frida sudah
seperti bahan ejekan dan leluconnya Elisa, mereka seperti bahagia jika telah
membully Frida, apalagi ketika Elisa tau bahwa Bara laki-laki yang ia sukai
dari dulu selalu mendekati keberadaan Frida.
Frida pulang selalu
dalam keadaan menangis, ia melihat kearah cermin yang berada dikamarnya,
hatinya berkata “Sejelek itukah aku?” ia meneteskan air mata.
Kali ini Frida mendapatkan kekerasan
fisik dari Elisa dan teman-temannya, ingin sesekali ia melaporkan kejadian ini
pada kepala sekolah, tapi apa yang bisa ia lakukan, Frida hanya terlahir dari
seorang anak petani yang sederhana, Frida bisa sekolah disituhpun karna ia
mendapatkan beasiswa karna prestasinya, sedangkan Elisa ia gadis yang berkuasa
disekolah, karna orang tuanyalah yang memiliki sekolah tersebut, dia memang
kaya raya, tak ada seorangpun yang brani melawannya. Sering kali Frida ingin
berontak, tapi tiga lawan satu bagi Frida itu tak mungkin, apalagi Frida tak
memiliki kekuatan untuk melawannya, Frida sangat pendiam.
Frida mulai tak tenang dan tak betah
melanjutkan sekolah disini, terkadang saat makan siang tiba, tempat duduknya
sengaja dibuat penuh oleh Elisa sang penguasa si ratu sombong, seakan-akan tak
ada tempat untuk Elisa duduk dan makan siang dikantin, dan dari situh kini
Frida selalu membawa bekal dari rumah dan lebih memilihnya makan sendirian
dikelas. Tak ada satupun kawan yang berteman dengan Frida, semua itu adalah
akal-akalan Elisa agar Frida tak betah melanjutkan sekolah disini.
Elisa memang orang yang
tidak pernah mau tersaingi, apalagi ketika ia tau bahwa Frida lebih pintar
darinya, dan Bara lebih memilih dia dari pada Elisa.
Frida yang selalu dipuji oleh guru
membuatnya menjadi semakin geram, dan sekuat mungkin ia mencari banyak
berbagai cara untuk membuat Frida pergi dari sekolah ini, namun kesabaran Frida
membuat tingkah mereka semakin menjadi-jadi.
Terkadang teman-teman sekelasnya merasa
Iba terhadap perlakuan Elisa kepada Frida, termasuk Bara, Bara selama ini
memang yang selalu ada untuk mendengar keluh kesah dan sekedar memberi semangat
pada Frida sigadis cupu ini, namun pertemuannya hanya sebatas diluar sekolah,
saat berada dilingkungan sekolah Bara sengaja menjauhi Frida karna ia takut
Elisa semakin menjadi-jadi.
Plaaaakkkk....
Dilemparnya penghapus papan tulis pada
muka Frida, Elisa dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak melihat wajah Frida
kotor dengan bekas kapur. Lalu Frida membereskan buku-bukunya dan memasukannya
kedalam tas warna biru mudanya, ia berlari membawa tasnya, ia keluar dari
kelasnya, sebelum keluar Frida tersenyum manis pada Elisa dan berkata
“Terimakasih atas segala perlakuanmu terhadapku selama ini, semoga kamu
bahagia, apalagi setelah apa yang kamu inginkan bisa terwujud, kamu ingin aku
keluar dari sekolah ini bukan? Tapi caramu salah, tanpa kamu sadari kamu telah
menyakiti hati seseorang, kamu tidak pernah membayangkan kalau posisi kamu
berada di aku yang selalu di-bully oleh orang-orang jahat sepertimu, selamat
tinggal”. Elisa berhenti dari tawanya, Frida berlari melewati lorong kelas, ia
menangis tersedu-sedu.
Brrraaakkkkk.....
Tanpa sengaja Frida menabrak Bara.
“Frida kamu kenapa?” Bara bertanya.
Frida menutup mukanya, ia berlari
meninggalkan Bara, Bara mengejarnya.
“Frida tunggu....!!!”
Frida berhenti disebuah jembatan, Frida
menjatuhkan tasnya. Bara mendekat.
“Frida aku minta maaf aku nggak bisa
menjaga kamu disini”
Frida terdiam.
Bara mendekat, Frida menghela nafas
dalam-dalam, ia mengusap air matanya. Ia menoleh kearah Bara, Frida tersenyum
seraya berkata “Nggak apa-apa, terimakasih selama ini kamu telah menjadi teman
baikku, mungkin aku tidak pantas berada disini, berada dilingkungan orang-orang
yang kaya, aku sadar aku berbeda dari mereka”
Bara mendekat.
“Dengan kamu berbicara
seperti ini
bukan berarti kamu ingin pergi dari sekolah
ini kan?”
Bara Bertanya.
Frida menundukan
kepala.
“Hari ini adalah hari
terakhir pertemuan kita
Besok biar orang tuaku yang kemari, aku ingin keluar”.
“Kamu menyerah?” Gumam Bara.
Frida tersenyum.
“Aku ingin seperti yang lainnya, yang
punya banyak teman disekolah, ikut bercanda dan tertawa bareng teman, aku tidak
ingin aku terus-terusan dibully seperti ini oleh mereka, aku ingin benar-benar
nyaman tanpa tekanan ketika aku berada disekolah, kamu tau Bara setiap malam
aku selalu takut ketemu hari esok, aku takut berangkat sekolah, aku memikirkan
hal apalagi yang terjadi ketika aku berada disekolah, semua sudah aku dapatkan
disini, apa aku akan terus begituh? Aku lelah jika pulang sekolah aku harus
selalu menangis karna perilaku Elisa dan teman-temannya, aku rasa ini memang
saatnya aku pergi dari sini”.
Bara mendekat dan merasa menyesal karna
tidak selalu ada saat ia sedang membutuhkannya. Bara membuka kacamata Frida,
Bara mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan wajah Frida dari kapur, Frida
menangis, dalam hening Bara menghapus air mata Frida.
“Aku mohon berhentilah menangis, dadaku
sesak melihatmu menangis”.
Frida mencoba tegar dan tersenyum, dia sangat
terlihat cantik dan manis tanpa kacamata yang ia kenakan tersebut.
“Sebentar lagi jam
istirahat akan habis,
cepat kamu masuk kelas, aku pamit” Ujar Frida.
Tenggorokan Bara terasa mencengkam,
hatinya pilu, seakan tak rela gadis yang ia cintai pergi.
“Tapi kamu masih tetap dikota ini kan?”
Ujar Bara.
“Tidak, aku akan
kembali ke kampung,
Tempat lahirku, sudah bosan aku disini,
Dari SD sampai sekarang aku disini,
Aku ingin disana saja menjadi gadis desa,
bukan gadis kota,
Aku sadar aku nggak pantas dikota”. Ujar Frida.
Bara manahan air matanya, rasanya ada
sesuatu yang ingin ia ucapkan, adalah kata cinta, tapi tak berani ia
ungkapkan, Bara berharap agar kelak nanti Tuhan akan mempertemukannya kembali.
“Aku pamit”.
Frida meninggalkannya.
“Kamu baik-baik disana”. Teriak Bara.
Kini bagi Bara hanya tersisa
senyumannya, senyuman Frida.
teh bel
BalasHapusiyaa Rian
BalasHapus